top of page
Writer's pictureEto Kwuta

Kebenaran dan Kemanusiaan Versus Cinta "Beloka"

Updated: Nov 17

𝙊𝙡𝙚𝙝: 𝙀𝙩𝙤 𝙆𝙬𝙪𝙩𝙖


Pada Senin, 11 November 2024, saya berdiskusi dengan Pater Charles Beraf, SVD, Pastor Paroki Detukeli, Keuskupan Agung Ende, perihal bagaimana mendistribusikan barang-barang bantuan ke tempat pengungsian di Flores Timur. Oleh karena jumlah barang bantuan begitu banyak, saya menghubungi bapa di tempat pengungsian untuk bergerak dari Waidang, Kecamatan Titehena, Flotim. Saat saya menyampaikan, Pater Charles membutuhkan kendaraan, bapa langsung cepat menjawab siap sedia.


Pada sore hari di tanggal yang sama, Bapa Baru Kwuta langsung terjun ke Ende. Bergerak sendirian ke kota pelajar itu. Dalam perjalanan, beliau menelepon dan bilang, ia harus istirahat malam di Watuneso karena terlanjur mengantuk. Mumpung, ada keluarga juga di sana. Bapa akhirnya tidur di rumah Nona Windy dan pagi harinya sekira jam 11.00 Wita, bergerak lagi ke Ende, tepatnya di Wisma Syuradikara. Datang dengan capai lelah, bapa langsung makan siang dan lanjut muat barang-barang dibantu sama penghuni Wisma Syuradikara. Kami lalu bergerak dengan dua kendaraan pikap menuju ke Flotim bersama Pater Charles.


Ini adalah perjalanan untuk kemanusiaan. JPIC Paroki Detukeli bekerja sama dengan Alumni Sesado 2005-2009, Smak Syuradikara Ende, keluarga Toraja, Surabaya, Labuan Bajo, dan Ruteng, kami bekerja untuk misi kemanusiaan, misi cinta tanpa batasnya. Dan kami menyasar kepada para pengungsi mandiri. Itu tujuan pertama kami. Oleh karena tujuan itu, kami mesti bergerak untuk kemanusiaan.


Mengapa kami mesti menjunjung tinggi kemanusiaan? Jawabannya, walau kami juga dalam kesusahan, tapi karena ada orang yang lebih susah, maka kita tidak bisa tinggal diam. Sebagai anak tanah yang datang dari Bawalatang, Duang, Kumaebang, Desa Nawokote, yang kini tinggal cerita pahit nan sedih, saya merasakan kehilangan yang dalam atas bencana meletusnya Gunung Lewotobi Laki-laki. Situasi itu menggerakkan saya untuk bangun dari tidur, pulang kampung, melihat jauh ke dalam hati dan bertanya, apa yang kita harus berikan di tengah badai atau situasi batas ini?



Dan ini adalah pengorbanan. Kami tiba di Kota Maumere pada malam hari, tanggal 12 Oktober 2024 jam 10.13 Wita. Ketika memarkirkan kendaraan, suara gemuruh Gunung Lewotobi Laki-laki terdengar meraung-raung dari timur, serupa mesin penggiling batu, memecahkan telinga warga Kota Maumere. Kami menikmati suara itu bersama beberapa pengungsi dari Boru, Kecamatan Wulanggitang. Oma Oncy Borukh tampak menangis, juga seperti merasakan trauma mendalam. Ya, mereka berduka dan mengalami kehilangan yang paling dahsyat.


Sambil mengobrol tentang kisah amukan gunung bercabang dua itu, kami bermalam di Ilegetang, Maumere, dan paginya mengontak para pengungsi mandiri untuk menyerahkan bantuan sekaligus menyisir beberapa pengungsi lain yang tinggal di seputar Jalan Brai hingga komplek Bandara Frans Seda Maumere. Jumlah mereka sebenarnya 100-an lebih sesuai data yang kami terima, dan belum semua mereka dapat kami bantu.


Dari sana, kami jalan lagi ke arah Pantai Utara, lewat Nebe, masuk Desa Henga, Lewomada, dan seterusnya. Kami terus berhenti di beberapa titik, karena banyak pengungsi mandiri yang menunggu kapan bantuan itu datang. Dari hati terdalam, kami serahkan bantuan sambil menanyakan: “apa sudah ada yang beri bantuan?” Mereka jawab belum sama sekali.


Jawaban ini memang sedih. Sedih sekali. Sudah hampir seminggu di tempat pengungsian, tapi mereka belum mendapatkan berkat apa-apa. Apakah kita mesti salahkan mereka? Tidak. Jawabannya adalah kita yang harus menyalahkan diri kita sendiri, mengevaluasi mereka yang bertanggung jawab, dan jangan takut untuk bicara soal hakikat kebenaran dan kemanusiaan.


𝐊𝐞𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚𝐚𝐧 𝐯𝐞𝐫𝐬𝐮𝐬 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐁𝐞𝐥𝐨𝐤𝐚


Ketika sudah sampai di Lato, Bokang, Pagong, Waidang, Kanada, Konga, Lewolaga, kami menyaksikan mereka orang-orang kalah, yang merasa asing karena pergi dari rumah, hilang semua harapan, dan sudah pasti tanpa jalan pulang. Ini kesedihan paling dramatis dan dahsyat, yang hanya dirasakan oleh mereka, dan orang susah lainnya, yang “belum terlalu susah”. Kita adalah orang susah lainnya itu, yang datang dengan cara kita, berada dengan mereka, dan tidur dalam mimpi buruk mereka yang jauh dari rumah.


Hal ini saya alami bersama Pater Charles Beraf, SVD, sosok yang saya sudah kenal lama sejak masuk di Ledalero. Saya salah satu yang mengoleksi tulisan opini beliau ketika empat tahun ada di Ledalero. Saya bangga memiliki orang berani dan sederhana seperti beliau. Saya juga berani katakan, dia adalah pastor orang susah, imam SVD yang terlibat langsung menunjukkan kerja-kerja JPIC SVD Paroki Detukeli, sebagai implementasi salah satu matra khas SVD (Serikat Sabda Allah).


Jadi, ini adalah kebenaran. Ini adalah kondisi kenyataan yang dihadapi mereka dan kita semua mengalami itu. Mereka memikul wajah kemanusiaan untuk menarik orang lain jatuh hati, bahkan jatuh cinta. Tapi, dalam kesusahan dan penderitaan mereka, ada orang lain yang masih tega memanfaatkan momentum untuk tinggal dalam menara gading mereka sendiri. Ada orang yang sukanya “mencuri” dalam keheningan dan kesakitan para korban.


Lucunya, mereka menamakan diri cinta, tapi tidak punya hati dan tidak punya kasih. Cinta mereka dibuat jadi terbatas, ada batasnya, dan memang cinta “beloka” dalam bahasa kami orang Nagi. Menyedihkan, memalukan, dan inilah waktunya suara-suara orang kalah itu diserukan kepada kita semua.


𝐌𝐞𝐦𝐛𝐨𝐧𝐠𝐤𝐚𝐫 𝐊𝐞𝐦𝐚𝐩𝐚𝐧𝐚𝐧


Jika salah, kita mesti katakan salah. Jika itu salah, kita harus berteriak keras, bahkan sampai marah-marah seperti Pater Charles Beraf. Ini adalah metode kita berperang melawan mereka yang tidak memiliki hati di tengah bencana. Kita marah supaya kemapanan itu disuntik dengan kritik yang membangun. Jika kita mengkritik tapi mereka merasa terganggu, maka kita mesti bertanya, ada apa denganmu?


Sebagaimana lirik lagu Peterpan, “ada apa denganmu”, kita mesti berada di posisi para pengungsi dan berpihak pada kemanusiaan untuk membongkar kemapanan. Pada hemat saya, kemapanan itu mesti diganggu, didobrak, diporak-porandakan, diteriakkan, dan dilawan supaya keluar dari zona nyaman mereka. Sekarang, banyak orang memolitisasi kebaikan orang lain untuk urusan ‘perut' mereka sendiri.


Urusan perut ini, dalam bahasa Plato disebut epithumia yang berarti hawa nafsu, nafsu makan, minum, untuk mendapatkan kekayaan. Epithumia ini, letaknya di bagian dada ke bawah. Jadi, kalau orang dengan tipe macam ini, dia sedang mempraktikkan epithumia itu. Dengan kata lain, mereka hanya ingat perut mereka sendiri. Sedih dan sangat memalukan!


Dengan demikian, tugas kita sebagai orang yang juga datang dari keluarga susah, mari kita menjaga kualitas hidup sebagai manusia yang berpikir rasional. Kita mengedepankan otak, hati, dan semangat di dada. Kita menjunjung tinggi kebenaran dan kemanusiaan. Kita juga menolak cinta “beloka” dan jangan takut membongkar kemapanan.


Pada akhirnya, kita mesti berpihak pada pengungsi di tengah badai erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki. Kita menunjukkan bahwa urusan pribadi kita dilewatkan dahulu. Pikir dulu orang lain, baru pikir diri kita sendiri!*


𝙈𝙖𝙜𝙚𝙥𝙖𝙣𝙙𝙖, 15-16 𝙉𝙤𝙫𝙚𝙢𝙗𝙚𝙧 2024

91 views0 comments

Comments


bottom of page