top of page

Ngalupolo, Toleransi, dan Pesan Waktu

Momen Bapak Uskup Budi diterima dengan penuh cinta oleh Bapa Imam Masjid bersama istri.
Momen Bapak Uskup Budi diterima dengan penuh cinta oleh Bapa Imam Masjid bersama istri.

(Refleksi Atas Visitasi Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD ke Stasi Ngalupolo)


Dalam sebuah visitasi Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD ke sebuah kampung kecil yang terletak di Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, Penulis melihat ada cerita yang tidak pernah habis tentang orang-orangnya, bagaimana mereka hidup dalam dua dimensi agama dan bagaimana waktu menjadi ruang yang membentuk karakter hidup mereka.

Di kampung ini, orang-orang sederhana itu hidup berdamai dengan keadaan tanah mereka yang tandus lantaran berada di pesisir pantai selatan dengan ombak besar menghantam. Kehidupan mereka pun sekeras ombak yang memecah pesisir pantai. Ada muara yang membuka mulutnya ketika air mengalir dari atas gunung mengalir dalam diamnya, tepat di samping kampung itu.


Ketika Mgr. Budi datang, mereka sudah berkumpul di sana. Dengan wajah polos penuh kesederhanaan, mereka merayakan perjumpaan yang pertama kalinya. Ini perjumpaan pertama untuk mereka. Mungkin akan ada yang kedua, tetapi kata mereka, perjumpaan ini paling spesial selama mereka hidup. Mengapa? Jawabannya karena Mgr. Budi datang sekaligus merayakan ulang tahunnya ke-60 bersama mereka. Ini satu rahmat yang tak bisa tergantikan dengan apa pun itu.


Dalam kegembiraan itu, setelah sapaan adat, mereka bergerak menuju ke kapel Stasi Ngalupolo, sebuah kapel imut nan indah. Ini sebuah gerakan yang berbalut toleransi karena mereka, agama Islam dan katolik, bergerak dengan senyum yang lebar, cinta yang kekar, dan kebahagiaan yang baru. Mereka masuk ke dalam rumah Tuhan milik orang Katolik dan merayakan Ekaristi Kudus sampai akhir. Inilah Ngalupolo, dengan keberagamannya. Di sini, orang-orangnya berprofesi sebagai nelayan, petani, dan peternak, tetapi dari kampung kecil ini, lahir puluhan imam dan biarawan-biarawati. Apa gerangan yang membuat panggilan mereka begitu subur? Terlepas dari pertanyaan ini, mari kita bicara tentang toleransi dan pesan waktu.


Ngalupolo sebagai Rumah Toleransi


Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD menyaksikan sendiri bagaimana cermin dua agama ini bersatu. Ia merekam semua dengan wajah kegembalaannya sendiri. Melalui kaca mata iman seorang teolog Gereja Katolik Roma, Mgr. Budi mengakui bahwa Ngalupolo itu hadir sebagai rumah toleransi yang nyata. Tak ada sekat, tak ada penghalang, tak ada yang mengatakan jika mereka anti agama. Di sana, toleransi itu subur dan menjadi spiritualitas yang hidup di tengah-tengah mereka.


Hemat Penulis, orang-orang Ngalupolo menjadi saksi dari masa ke masa, bahwa investasi toleransi ini adalah sebuah norma yang tidak boleh dilanggar. Ini semacam ideologi yang hidup di dalam diri mereka sebagai orang-orang kampung. Mereka membuka ruang nyata untuk kehidupan yang bebas tanpa hambatan dan tekanan. Mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Ini seperti sebuah sakramen yang hidup dan dihidupkan sebagai senjata untuk melawan sikap-sikap radikalisme yang masih subur di Indonesia.


Dalam kehidupan sosiologi masyarakat yang lebih luas, perpaduan dua mata uang ini terkadang menyebabkan konflik horizontal. Misalnya, kehidupan beragama di Jawa berbeda jauh dengan kehidupan agama di Indonesia bagian timur. Ini bukan soal minoritas dan mayoritas, tapi orang-orang menyadari bahwa kehidupan sebagai manusia yang berakal budi adalah kunci utama.


Orang paham bahwa di beragama, maka dengan sendirinya orang tahu melaksanakan ajaran agamanya dengan benar. Perintah-perintah Nabi dan ajaran Yesus, misalnya, adalah alat untuk membentuk karakter sosiologis dan psikologis manusia itu sendiri. Jadi, jika Ngalupolo sudah menghidupkan persatuan yang harmonis antara Islam dan Katolik, maka ketika Mgr. Budi hadir sebagai simbol seorang tokoh Gereja yang memimpin, ruang toleransi ini semakin dipererat dan dikuatkan. dan, mereka paham soal ini.


Pesan Waktu


Dalam kesempatan visitasinya, Mgr. Budi mengapresiasi toleransi yang dihidupkan secara bersama-sama di Ngalupolo. Ia menyentil dalam kotbahnya bahwa waktu itu berharga karena ia memberi bobot nilai bagi manusia. Jika sebelumnya, manusia kurang menggunakan waktu secara bertanggung jawab, maka manusia itu pada waktunya juga akan berubah.

Dikatakannya, orang Ngalupolo telah memberi waktu mereka untuk memupuk toleransi sehingga sudah tampak subur sampai saat ini. Karena itu, ia mengajak semua orang Ngalupolo untuk menggunakan waktu mereka dengan baik. Menghidupi apa yang sudah ada dan berusaha untuk memperbaiki segala kekurangan itu di dalam waktu. Ya, waktu yang menjawab semuanya itu jika kita memulai.


Dalam Sein und Zeit, Martin Heidegger menulis tentang hal-hal praktis setiap hari. Ada hal biasa yang ada dalam kehidupan kita, tetapi kita tidak pernah menyadari bahwa hal biasa itu juga ada dalam kehidupan kita. Begitu intim juga hal itu ada dalam kehidupan kita yang juga sedang mendikte kita, tapi kita seolah-olah menjadi tuan atas dia. Itulah waktu. Maka, kita juga tak pernah selesai menjawab apa itu waktu, tapi Heidegger mampu menjawabnya. Jawabannya adalah jika waktu hanya dimengerti pada jam dinding, arloji, atau jam tangan biasa, maka Anda salah.


Heidegger memberikan makna berbeda dari waktu. Maka, dalam kaca mata Penulis, apa yang telah tampak di mata, kehidupan orang-orang dengan dua agama yang berdampingan itu, itulah waktu yang sesungguhnya. Waktu menghasilkan pengalaman yang intim dan di sana ada sebuah format besar bernama toleransi. Pengalaman Penulis ini belum tentu sama dengan pengalaman Anda di wilayah berbeda, tapi jika kita memahami waktu dalam pandangan Heidegger ini, maka niscaya kita adalah orang-orang “Ngalupolo” lainnya, yang bisa mewartakan hal yang sama di mana saja kita berada.*

Comments


bottom of page