top of page

MEMBANGUN JEMBATAN BATIN DENGAN KEHENINGAN


Menurutmu, apa itu jembatan batin?


Bagiku, jembatan batin adalah penghubung suara hati antara aku dan Tuhan. Tak semua orang mampu memahami kisahku, tapi Tuhan mampu. Beberapa orang mungkin tahu curahan hatiku, tapi tidak semuanya mau mencurahkan kepeduliannya seperti Tuhan. Melalui jembatan batin, Tuhan hadir sebagai penuntun. Aku dan kalian mungkin tidak akan menyadarinya, tapi setiap kali kita melalui sebuah proses akan ada suara Tuhan yang menuntun kita. Suara itu tertutup oleh kebisingan dunia. Oleh karena itu, kita membutuhkan kepekaan untuk membedakan suara Tuhan dan ego kita masing-masing. Kepekaan itu akan dengan mudah kita raih dalam keheningan. Kita hanya perlu fokus pada satu tujuan untuk menjadi lebih baik, dan Tuhan akan menuntun kita dengan mudah.


Sebagai seorang pelajar kelas 12 SMAK Syuradikara Ende yang sedang diserang kecemasan akan masa depan, aku dan kawan-kawanku sangatlah memerlukan jembatan batin. Oleh karena itu, sekolah memutuskan untuk mengirim kami ke Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko pada tanggal 14 sampai 19 Februari 2022 dalam 2 gelombang. Di tengah risiko penyebaran virus Corona yang melanda saat ini, kami meneguhkan hati untuk mencari Tuhan di sana. Kami percaya bahwa Tuhan akan senantiasa membentengi kami yang ingin mendengar suara-Nya. Tentunya, kami semua sudah diberikan vaksin sebanyak dua kali dan ditegaskan untuk mematuhi protokol kesehatan selama 3 hari di sana.


Rumah Retret Kemah Tabor telah lama dipilih SMAK Syuradikara sebagai tempat mencari ketenangan batin para siswanya. Baru memasuki gerbangnya saja, kami sudah disuguhkan pemandangan yang menyejukkan hati dan pikiran serta suasana sunyi khas tempat berdoa.



Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami pun disambut dengayn kehangatan di sana. Melihat banyak peserta retret yang kelelahan di perjalanan, para karyawan dan karyawati pun dengan sigap menuntun kami menuju kamar yang sudah dibagikan untuk istirahat siang. Setelah beristirahat beberapa jam, kami diberikan camilan sore. Puas dengan camilan sore yang telah kami santap, kami pun diajak memasuki aula untuk mengikuti misa pembukaan retret dan menerima materi retret.



Materi pertama yang kami pelajari adalah pengenalan awal tentang retret itu sendiri. Di sini kami lebih mengenal retret bukan hanya sebagai kegiatan untuk mundur dari kesibukan harian, tetapi juga untuk mencari ketenangan batin. Dalam hatiku, aku bersyukur sekali karena Tuhan menuntun sekolah untuk membuat keputusan ini. Meskipun aku harus sekuat tenaga meyakinkan diri bahwa aku dan kawan-kawanku akan baik-baik saja di sana, setidaknya banyak hal yang kami temukan di tengah keheningan ini.


Menuju akhir kegiatan di hari pertama, kami diajak untuk mengajukan pertanyaan kepada Tuhan. Jujur saja, aku merasa aneh akan hal ini karena walaupun aku belum bertanya, aku yakin Tuhan tahu semua pertanyaanku. Malam itu semuanya menjadi jelas. Tatkala kupejamkan mataku dan kupikirkan pertanyaan mana yang harus kutanyakan kepada Tuhan, aku pun menemukan pertanyaan utama yang menjadi tujuan hidupku. Pertanyaan yang melintas di dalam kepalaku saat itu tanpa sadar merupakan tujuanku untuk tetap hidup. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk kawan-kawanku yang lain. Ketika mereka memegang mikrofon dan dengan lantang menyebutkan pertanyaan mereka untuk Tuhan, aku sadar bahwa setiap orang punya cara tersendiri untuk mempertahankan hidupnya. Entah untuk menemukan titik permasalahan dalam keluarganya, menemukan alasan kenapa mereka dikucilkan di masyarakat atau bahkan untuk menemukan alasan kenapa mereka diciptakan dengan unik.


Berlanjut dari pertanyaan yang kami ajukan kepada Tuhan, kami pun diajak memahami tentang “Manusia Baru” pada keesokan harinya. Manusia baru adalah mereka yang mau berusaha memperbaharui hidupnya menjadi lebih baik kedepannya. Ketika kami bertanya tentang arti kehidupan kami, kami pun akan dituntun untuk menjadi manusia yang lebih baik berdasarkan arah hidup yang hendak kami tuju. Kiat menjadi manusia baru itu tentu saja bukan hanya sekedar kiat, tetapi juga disertai dengan nilai-nilai yang kami perjuangkan di dalamnya, baik nilai instrumen maupun nilai intrinsik. Nilai instrumen diartikan sebagai alat yang memungkinkan manusia mencapai berbagai tugas dalam kehidupannya. Sedangkan nilai intrinsik disebut juga nilai tanggung jawab atau nilai abadi dimana nilai ini berkaitan dengan kejujuran, disiplin serta sikap hormat yang bukan soal mau tidak mau, suka tidak suka, tetapi soal keharusan.


Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut, kami diajak memahami arti kebebasan. Kebebasan yang kumaknai selama ini ternyata bukan hanya tentang melakukan semua hal sesuka hati, tetapi juga mempertimbangkan apakah dampak yang akan kuterima. Ini bukan soal batasan yang kuterapkan, tetapi bagaimana tanggung jawab yang akan dipertanyakan nantinya. Aku sadar betul dengan kebebasan yang ingin kuraih sebagai seorang remaja yang memiliki ego tinggi. Tetapi di usiaku yang menuju dewasa, aku disentak akan realita bahwa ada dampak yang akan mendatangiku nantinya.


Salah satu kebebasan yang diajarkan Yesus adalah kebebasan dicintai dan mencintai. Materi inilah yang paling menyentuh bagiku. Dengan materi ini, aku merasa berharga karena aku layak untuk dicintai, baik oleh teman, guru, orang tua, Tuhan, dan tentunya dicintai oleh diriku sendiri. Merasa istimewa bukanlah hal mudah di tengah era penuh keminderan akan status sosial, fisik dan mental ini. Tapi ketika kita belajar tentang cara mencintai dan dicintai, kita akan sadar bahwa diri sendiri dan Tuhan saja sudah cukup untuk menempatkan kita di posisi yang layak untuk mencintai dan dicintai.


Usai menemukan banyak pembelajaran tersebut, dengan berat hati kami harus meninggalkan Rumah Retret Kemah Tabor. Seperti halnya pembukaan, retret pun ditutup dengan misa. Setelah misa, kami pun diajak untuk berfoto bersama sebagai salam perpisahan. Ditengah sesi foto tersebut, aku memandangi setiap bangunan yang mengelilingi taman. Mulai dari ruangan berdiskusi, aula, kapela, kamar, bahkan ruang makan. Semuanya menghadirkan pesan tersendiri. Aku dan kawan-kawan belajar mendengarkan pendapat orang lain, belajar untuk menghargai ketenangan, belajar menghargai waktu dan masih banyak lagi. Kaki ini berat untuk melangkah pergi. Rasanya tidak rela meninggalkan kenyamanan ini. Tapi disinilah kami yang harus melanjutkan rutinitas menjadi manusia baru seperti yang telah kami pelajari. Terima kasih Kemah Tabor untuk pelajaran berharga ini.

Luciana Dellashania Goa

XII MIPA 3

Tim Jurnalis Muda Syuradikara

Viva Syuradikara


15 views

Recent Posts

See All
bottom of page